Kamis, 09 April 2015

Pembunuh Berusia 19 Tahun Itu Merindukan Ayahnya

Kategori: love bites

Para ayah, kembalilah ke rumah…

TADI malam, kulihat siaran televisi, membahas peristiwa yang belakangan ini ramai dibicarakan orang yakni pembunuhan seorang remaja berusia 19 tahun oleh mantan pacar dan kekasih baru sang mantan yang ironisnya juga teman sesekolah saat SMA.

Itu perbuatan jahat, kata ibu Elly Risman, psikolog yang diundang sebagai narasumber dalam siaran televisi tersebut. Itu bukan lagi kenakalan remaja. Itu jahat. Dengan prihatin, harus kukatakan bahwa aku menyepakati apa yang dikatakan ibu Elly. Apa yang terjadi, bukan lagi nakal, tapi jahat.

Anak remaja, memang sering bertingkah nakal dan lucu. Usianya yang berada di antara anak-anak dan dewasa memang membuat mereka seperti itu. Tapi meminta seseorang yang dikenal untuk menemui lalu disetrum, disumpal mulutnya, sampai akhirnya meninggal, dan bahkan setelah itu kemudian sempat- sempatnya menjual HP sang korban untuk kemudian dibelikan aki mobil sang pembunuh yang ngadat, sungguh diluar nalar.

Beberapa analisa dari psikolog lain serta ahli kriminologi mengatakan bahwa sepasang kekasih itu mungkin tadinya tak bermaksud membunuh ( dan semata hanya ingin ‘memberi pelajaran’ ). Tapi tetap saja, itu diluar nalar. Logika yang lurus akan tahu bahwa setiap tindakan akan ada konsekwensinya. Nurani yang bersih akan tahu, menyiksa dan menyakiti orang lain itu tidak bisa dibenarkan.

Dan ini..menyetrum, dengan alat. Menyumpal mulut dengan kertas koran. Ah, tengoklah kebanyakan mobil. Jangankan alat setrum, bahkan kertas koranpun tak selalu ada di dalam mobil, bukan? Maka hal itu memang jelas sengaja disiapkan. Lalu juga, bagaimana saat mereka bicara — merencanakan — soal hendak memperdaya, menyetrum dan menyumpal mulut korbannya sepasang kekasih itu tidak memikirkan konsekwensinya? Memangnya mereka tidak tahu bahwa itu bisa berujung pada cedera berat atau kematian? Ada yang salah dengan pola pikir dan hati kedua orang itu.

Dan aku menyetujui apa yang dikatakan ibu Elly Risman: tengoklah kembali ke rumah, lihatlah bagaimana cara kedua anak itu diasuh dan dibesarkan. Besar kemungkinan, di situlah bolongnya.
Ibu Elly mengutip apa yang diceritakan oleh ibu sang korban yang berkata bahwa si lelaki mantan pacar yang kemudian membunuh anaknya dulu pernah bercerita padanya tentang apa keinginan terpendamnya. Tentang betapa dia ingin dipeluk oleh ayahnya, dipuji, dihargai. Betapa dia ingin ayahnya mengatakan bagaimana bangga sang ayah pada dirinya.

Intinya, dia adalah anak yang rupanya tak tercukupi kebutuhannya akan kasih sayang dari orang tuanya, terutama dari ayahnya. Hal yang menyebabkan kekosongan dalam jiwanya. Dan terjadilah semua itu. Bisa jadi, halnya kompleks. Ada masalah- masalah lain selain kurangnya kasih sayang sang ayah. Tapi jika ditilik dari ceritanya, hal tersebut memegang peranan besar dalam kekosongan jiwanya.

***

Selama beberapa tahun belakangan, dalam berbagai kesempatan aku beberapa kali pernah mengikuti presentasi dan diskusi yang diadakan oleh ibu Elly Risman secara live untuk beragam topik, dan aku ingat apa yang beliau katakan dalam salah satu sesinya.
” Para ayah, kembalilah ke rumah. “
Begitu yang ditekankan Ibu Elly suatu hari saat melakukan presentasi.

Saat itu kami sedang berada di suatu daerah dimana kebiasaan para lelaki di daerah itu secara budaya adalah berkumpul di warung kopi. Dan di situlah kudengar ibu Elly menyentil kebiasaan itu. Berapa banyak waktu yang dihabiskan para lelaki dan ayah pada petang dan malam hari di warung kopi itu, yang sebenarnya akan sangat berharga jika digunakan untuk melewatkan waktu bersama anak-anaknya di rumah.

Saat mendengar apa yang dikatakan ibu Elly ketika itu, terbayang olehku apa yang terjadi di banyak kota besar sebagai padanannya: bercengkrama di coffee shop, clubbing, atau apapun namanya, sepulang kantor. Ada banyak gerai kopi modern yang harga secangkir kopinya sungguh aduhai yang biasa dikunjungi oleh banyak orang seusai jam kerja.

Sekalian nunggu macet, alasan yang diberikan. Yang well…ada benar dan ada tidaknya. Jam pulang kantor, jalanan memang macet, tapi bagaimanapun, seseorang toh akan lebih cepat juga sampai di rumah jika dia langsung pulang seusai kantor daripada duduk- duduk dulu satu-dua jam di gerai kopi.

***

Kembali pada apa yang pernah kudengar dari sesi presentasi ibu Elly beberapa tahun yang lalu itu, sebenarnya waktu yang dibutuhkan untuk menjaga hubungan uang sehat antara ayah dan anak tidaklah banyak. Tiga puluh menit per hari. Itu yang dikatakan ibu Elly. Maka menjadi jelaslah bagiku kenapa ibu Elly menyentil kebiasaan mampir ke warung kopi di daerah dimana kami sedang berada itu.

Sebab orang biasanya ada di warung kopi lebih dari tiga puluh menit. Tapi lalu tiba di rumah larut malam dan tak lagi sempat menyisihkan waktu yang ‘tiga puluh menit saja’ bagi anaknya. Padahal, adalah penting bagi para ayah untuk menjalin komunikasi dengan anak-anaknya. Baik dengan anak lelaki maupun perempuan. Sebab ada hal- hal yang hanya para ayahlah yang bisa menyampaikan dengan baik pada anak-anaknya, lebih baik dari sang ibu.

Misalnya, pembicaraan tentang mimpi basah dengan anak-anak lelaki remaja, dan apa yang perlu dilakukan setelah itu (bagi pemeluk keyakinan tertentu: mandi, misalnya). Juga, para ayah perlu bicara terhadap anak perempuannya, menunjukkan sikap lelaki seperti apa yang baik dan tidak, misalnya, yang akan membantu sang anak kelak dapat memilih dengan baik pasangan hidupnya. Atau…tentang apapun juga. Ada 1001 macam hal yang bisa dibicarakan ayah dengan anaknya.

Para ayah, memang tak selalu bisa ada setiap detik, setiap menit dalam hidup anaknya secara fisik. Ada banyak hal lain yang juga perlu dilakukan dalam hidup olehnya. Tapi, dia perlu hadir di dalam diri anaknya, di dalam jiwa anaknya. Dan agar hal tersebut terjadi, mau tak mau, sang ayah harus meluangkan waktu untuk ada bersama anaknya setiap hari.

Maka…

Para ayah, mari kembali ke rumah demi masa depan anak- anak.
Tiga puluh menit saja…